MANUSIA DAN KEADILAN
MAKALAH
Diajukan sebagai salah satu tugas kelompok pada Mata Kuliah
ILMU BUDAYA DASAR

Dosen
Disusun Oleh
Elis Fitriani
Eka Nurriski
Eha
Maesaroh
Rani Ratna Puri
Wulan Ramandhita
|
: IDA FARIDA, M.Pd.
: Kelompok 6
: 14102032011CA
: 14102062001CA
:
: 14102032007CA
: 102-02020-037CB
: 14102062007CA
|
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
TAKTAKAN - KOTA SERANG - BANTEN
TAHUN AKADEMIK 2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang memberikan
kenikmatan pada kita sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata Ilmu Budaya
Dasar.
Makalah
ini disusun guna melengkapi tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar. Teriring
ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini.
Selanjutnya,
penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena kekurangan
dan ketebatasan pengetahuan penulis.
Untuk itu, saran dan masukan dari berbagai pihak sangat bermanfaat bagi siapa
saja yang berkenan membacanya.
Serang, 14 Oktober 2014
Penulis
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………… i
DAFTAR ISI…………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
A. Latar Belakag Masalah………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………… 2
C. Tujuan Penulisan……………………………………………….. 2
BAB II MANUSIA DAN KEADILAN................................................ 3
A. Pengertian Keadilan…………………………………………….. 3
B. Macam-macam Keadilan………………………………………. 8
C. Kejujuran……………...................…………………………….. 9
D. Kecurangan.......................……………………………………... 11
E. Pemulihan Nama Baik.............................................................. 13
F. Pembalasan............................................................................... 18
BAB III PENUTUP............................................................................... 19
A. Kesimpulan……………………………………………………... 16
B. Saran……………………………………………………………. 16
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam hidup dan kehidupan, setiap manusia dalam melakukan
aktifitasnya pasti pernah menemukan perlakuan yang tidak adil atau bahkan sebaliknya,
melakukan hal yang tidak adil. Dimana pada setiap diri manusia pasti terdapat
dorongan atau keinginan untuk berbuat kebaikan “jujur”. Tetapi terkadang untuk
melakukan kejujuran sangatlah tidak mudah dan selalu dibenturkan oleh
permasalahan – permasalahan dan kendala yang dihadapinya yang kesemuanya
disebabkan oleh berbagai sebab, seperti keadaan atau situasi, permasalahan
teknis hingga bahkan sikap moral.
Dampak positif dari keadilan itu sendiri dapat membuahkan
kreatifitas dan seni tingkat tinggi. Karena ketika seseorang mendapat perlakuan
yang tidak adil maka orang tersebut akan mencoba untuk bertanya atau melakukan
perlawanan “protes” dengan caranya sendiri. Nah… cara itulah yang dapat
menimbulkan kreatifitas dan seni tingkat tinggi seperti demonstrasi, melukis,
menulis dalam bentuk apabun hingga bahkan membalasnya dengan berdusta dan
melakukan kecurangan.
Keadilan adalah pengakuan atas perbuatan yang seimbang, pengakuan
secara kata dan sikap antara hak dan kewajiban. Setiap diri kita “manusia”
memiliki itu “hak dan kewajiban”, dimana hak yang dituntut haruslah seimbang
dengan kewajiban yang telah dilakukan sehingga terjalin harmonisasi dalam
perwujudan keadilan itu sendiri.
Keadilan pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan mutlak bagi
setiap manusia dibumi ini dan tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari
kehidupan. Menurut Aristoteles, keadilan akan dapat terwujud jika hal – hal
yang sama diperlakukan secara sama dan sebaliknya, hal – hal yang tidak
semestinya diperlakukan tidak semestinya pula. Dimana keadilan memiliki ciri
antara lain ; tidak memihak, seimbang dan melihat segalanya sesuai dengan
proporsinya baik secara hak dan kewajiban dan sebanding dengan moralitas. Arti
moralitas disini adalah sama antara perbuatan yang dilakukan dan ganjaran yang
diterimanya. Dengan kata lain keadilan itu sendiri dapat bersifat hukum.
Keadilan itu sendiri memiliki sifat yang bersebrangan dengan dusta
atau kecurangan. Dimana kecurangan sangat identik dengan perbuatan yang tidak
baik dan tidak jujur. Atau dengan kata lain apa yang dikatakan tidak sama
dengan apa yang dilakukan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang disebut
dengan keadilan?
2. Bagaimana Cara
berbuat adil?
3. Apa pembalasan bagi
seseorang yang tidak adil?
4. Siapakah yang harus
berbuat adil?
5. Di mana kita harus
berbuat adil?
C. Tujuan Penulisan
Tujuannya dibuat makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi tugas mata
kuliah Ilmu Budaya Dasar
2. Mengetahui, memahami serta
diaplikasikan makna keadilan dalam kehidupan
kita.
3. Sebagai sumber pengetahuan dan ilmu
khususnya bagi penulis umunya bagi pembaca
BAB II
MANUSIA DAN KEADILAN
A. Pengertian Keadilan
Sebelum dibuat
oleh hukum manusia (hukum positif), yang berlaku adalah hukum rimba (jungle
law), yaitu hukum yang berlaku di kalangan binatang. Siapa yang kuat, dialah yang
menang, Hukum demikian beberapa waktu masih berlaku dalam mansyarakat manusia,
sehingga disebutkan sebagai aturan atau hukum manusia yang kuat (a rule by
man). Manusia yang kian hari kian manusiawi kemudian menciptakan hukum positif
yang berguna dalam kehidupannya, lahirlah hukum atau aturan yang berdasarkan a
rule by law, setiap orang di mata hukum sama dan tidak ada yang kebal hukum.
Siapa yang bersalah wajib di hukum.
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata adil berarti tidak berat sebelah atau tidak
memihak, atau tidak sewenang-wenang, sehingga keadilan mengandung pengertian
sebagai suatu hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak, atau tidak
sewenang-wenang.
Keadilan pada
umumnya sulit diperoleh. Sehingga kalau terpaksa harus dituntut. Dalam hal ini,
untuk memperoleh keadilan biasanya dierlukan pihak ketiga sebagai penengah,
dengan harapan, pihak tersebut dapat bertindak adil terhadap pihak-pihak
berselisih. Oleh kartena itu, pihak ketiga harus netral, tidak boleh
menguntungkan salah satu pihak. Pihak ketiga sangat diperlukan, karena tanpa
pihak ketiga, yang berselisih akan beresikap konfrontatif yang apabila
dibiarkan dapat mengarah kepada kekerasan.
Sesuai dengan
sifatnya, peradilan yang diadakan oleh pemerintah diberi lambang sebuah neraca
yang horizontal yang mengandung arti bahwa keadilan tidak berat sebelah. Di
Eropa, Kususnya di Yunani kuno, keadilan dipimpin oleh Dewi keadilan,
digambarkan sebagai seorang wanita yang membawa timbangan dan pedang dengan
mata yang tertutup kain agar ia tidak melihat. Hal ini diartikan “tanpa pandang
bulu”. Jadi, demi keadilan siapapun yang dinilai bersalah akan ditindak dengan
tegas.
Untuk melaksanakan
keadilan yang mengatur masyarakat di dalam negara (dulu di kenal adanya negara
suku), diperlukan suatu peraturan yang
disebut undang-undang atau hukum. Apakah hukum itu? Definisi hukum dalam ilmu
pengetahuan sosial jumlahnya sangat banyak. Namun, intinya hukum merupakan
suatu sistem norma-norma yang mengatur kehidupan dalam masyarakat.. Oleh karena
itu, apabila ada seseorang yang merasa memperoleh ketidakadilan dari pihak
lain, ia berhak mengajukan tuntutan.
Selanjutnya,
dikatakan bahwa hukum memiliki norma yang terletak pada sanksi yang akan
dikenakan pada pelanggarnya. Manusia sebagai makhluk berakhlak budi,
berjasmani, dan sebagai makhluk sosial, dalam hubungannya antara satu dan yang
lain akan mudah mengalami konflik. Untuk menghindari hal tersebut,
diciptakanlah hukum yang mempunyai fungsi
dasar untuk mencegah agar konflik kepentingan itu dipecahkann dalam konflik
terbuka. Pemecahannya bukan atas dasar siapa yang kuat, melainkan berdasarkan
aturan (hukum) yang tidak membedakan antara orang kuat dan orang lemah. Setiap
masyarakat memerlukan hukum, dikatakan bahwa dimana ada masyarakat, di sana ada
hukum (ubi societas ini ius).
Berdasarkan
pernyataan di atas, keadilan merupakan salah satu ciri hukum. Dalam hukum,
tuntutan keadilan mempunyai dua arti, yaitu arti formal dan arti material.
Dalam arti formal. Keadaan menuntut supaya hukum berlaku secara umum, semua
orang dalam situasi yang sama diperlukan secara sama. Dengan kata lain, hukum
tidak mengenal pengecualian. Oleh karena itu, di hadapan hukum, kedudukan orang
adalah sama, inilah yang disebut asas kesamaan atau kesamaan kedudukan.
Sementara itu, dalam arti material arti hukum harus adil. Adil di sini adalah
adil yang dianggap oleh masyarakat, jadi bukan sekedar secara formal saja
seperti apa yang tertulis itu adil. Itulah sebabnya, suatu sidang pengadilan
belumlah selesai apabila belum ada penyesuaian antara keputusan sidang dan
penilaian masyarakat, walaupun sidang peradilan itu telah usai. Oleh karena
itu, apabila yang diputuskan oleh pengadilan dirasakan tidak adil, reaksi
masyarakat akan timbul.
Selain sebagai ciri
keadilan, hukum juga memliki ciri kepastian. Kepastian di sini bukan
semata-mata formal seperti apa yang tersurat dalam hukum, tetapi kepastian yang
dalam pelaksanaannya mengandalkan
orientasi. Kepastian tersebut menuntut agar hukum dirumuskan secara sempit dan
ketat, sehingga tidak terjadikekaburan atau penafsiran yang berbeda-beda. Namun
demikian, hukum itu sendiri seperti telah dikemukakan sebelumnya, dapat disebut
adil apabila dapat diterima oleh masyarakat. Hukkum memangharus pasti, tetapi
tidak boleh dimutlakkan, maka dalam hukum diperlukan adanya keluwesan agar
keadilan dapat diwujudkan.
Untuk lebih
mendalami soal keadilan, perlu dikenal tentang adanya hukum kodrat dan hukum
positif. Hukum kodrat (lex naturalis) merupakan hukum yang berdasarkan atas
penciptanya. Sebenarnya, hukum ini adalah hukum ilahi yang memilikisifat abadi.
Hukum positif atau hukum manusia (lex humana) berbeda dengan hukum kodrat,
sifatnya tidak abadi. Hukum ini diciptakan oleh manusia, sehingga dapat diganti
apabila manusia yang menciptakannya ingin mengganti karena sudah tidak sesuai
dengan keadaan. Namun, kedua hukum itu memiliki persamaan karena menyangkut
hak-hak asasi manusia.
Yang disebut
hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia, bukan karena
diberikan manusia, tetapimkarena diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Jadi,
bukan berdasarkan hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya
sebagai manusia. (Fans Von Magnis Suseno, 1987: 121). Semakin banyak
tuntutan-tuntutan dasar keadilan dan martabat manusia dimasukkan sebagai hak
asasi ke dalam hukum positif, akan semakin terasa bahwa hukum itu memang adil
dan sesuai dengan martabat manusia. Oleh karena itu, walaupun dalam masyarakat
banyak terjadi seseorang yang merasa diperlakukan tidak adil menurut hukum
positif, karena hak-hak asasinya dilanggar. Orang itu dapat mengatakan:
“biarlah aku diperlakukan tidak adil di dunia, tetapi Tuhan tidak akan
membiarkannya karena hukum ilahi juga akhirnya yang akan menang.
Selain kedua hukum
di atas, khususnya dalam msyarakat Indonesia yang tradisional, dikenal hukum
lain yang disebut hukum adat. Hukum adat pada umumnya tidak tertulis, namun
diketahui oleh warga masyaratnya. Dalam hukum adat, pada umumnya tidak bersifat
jasmani, melainkan rohani. Misalnya, seseorang yang dianggap melanggar adat
oleh dewan adat dijatuhi hukuman berupa pengucilan dari masyarakat. Melalui
hukuman itu, orang yang dijatuhi hukuman akan merasakan bagaimana tidak enaknya
hidup terpisah dari keluarga , merasa kesepian dan merasa kesendirian. Sehingga
menyiksa batinnya. Untuk melepaskan apa yang dirasakannya, suatu waktu orang
itu dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh pengampunan. Hal itu baru
dapat diperoleh apabila masyarakat menerima permohonannya. Apabila masyarakat
meneria, sebagai perwujudannya antara lain diadakanlah pesta keluarga. Di situ,
orang yang dijatuhi hukuman harus meminta maaf kepada seluruh keluarga.
Salah satu cara untuk menentang ketidakadilan adalah dengann melakukan unjuk rasa. Pada zaman dulu seseorang yang merasa diperlakukan tidak adil akan melakukan unjuk rasa dengan cara menjemur diri di alun-alun (pepe) di depan istana raja. Harapannya agar pemandangnnya yang tidak sedap di tengah kota tersebut mengundang perhatian raja, apabila raja mengetahui, akan segera memerintahkan untuk memanggil orang tersebut. Raja menanyakan ada apa gerangan yang menyebabkan orang tersebut melakukan pepe, Raja yang bijaksana dan ingin menciptakan keadilan di negaanya tentunya akan cepat mencari penyelesaian agar protes yang menusuk hati tersebut lekas berakhir. Di Negara barat, unjuk rasa dilakukan secara bersama-sama (demonstrasi). Para demonstran pada umumnya menuntut sesuatu, karena apa yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan keadaannya. Misalnya, kaum buruh yang berdemonstrasi menuntut kenaikan upah karena upah yang mereka terima tidak sesuai lagi dengan harga kebutuhan hidup.
Salah satu cara untuk menentang ketidakadilan adalah dengann melakukan unjuk rasa. Pada zaman dulu seseorang yang merasa diperlakukan tidak adil akan melakukan unjuk rasa dengan cara menjemur diri di alun-alun (pepe) di depan istana raja. Harapannya agar pemandangnnya yang tidak sedap di tengah kota tersebut mengundang perhatian raja, apabila raja mengetahui, akan segera memerintahkan untuk memanggil orang tersebut. Raja menanyakan ada apa gerangan yang menyebabkan orang tersebut melakukan pepe, Raja yang bijaksana dan ingin menciptakan keadilan di negaanya tentunya akan cepat mencari penyelesaian agar protes yang menusuk hati tersebut lekas berakhir. Di Negara barat, unjuk rasa dilakukan secara bersama-sama (demonstrasi). Para demonstran pada umumnya menuntut sesuatu, karena apa yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan keadaannya. Misalnya, kaum buruh yang berdemonstrasi menuntut kenaikan upah karena upah yang mereka terima tidak sesuai lagi dengan harga kebutuhan hidup.
Keinginan manusia
untuk memperoleh keadilan seperti yang diharapkan sering kandas hanya karena
nilai keadilan pada dirinya berbeda dengan yang ada pada orang lain. Misalnya,
seorang anak memperoleh pembagian kue lebih sedikit dari kakaknya, ia merasakan
hal itu tidak adil karena tidak sama banyaknya. Sedangkan ibunya mempergunakan
pertimbangan bahwa anak kecil tidak sama dengan anak yang lebih besar. Apabila
pada kesempatan lain pembagian dilakukan dalam ukuran sama besar, si kakaklah
yang akan merasakan ketidakadilan. Contoh lain adalah seorang pria yang mau
kawin lagi. Pada pria ini, biasanya diajukan syarat agar ia bertindak adil
terhadap kedua istrinya. Namun, dalam praktiknya, tentunya pria itu untuk
beberapa lama akan lebih menaruh perhatian kepada istri mudanya daripada istri
tuanya. Hal demikian menyebabkan sering terjadinya antara istri tua dengan
madunya. Berdasarkan hal tersebut, untunglah dalam undang-undang perkawinan
yang sekarang, pria yang akan kawin lagi, terlebih dahulu wajib meminta izin
kepada istrinya yang pertama. (UU No. 1 Tahun 1974).
Dengan menegakkan
keadilan, dua orang yang bertikai atau berkonflik dapat mengajukan persoalannya
ke pengadilan negeri yag bertugas menanganinya secara perdata. Sesuai dengan
sifatnya, pengadilan wajib berbuat adil sehingga keputusannya dapat diterima
secara baik dan puas oleh mereka yang mencari keadilan di lembaga tersebut.
Apabila terbukti bahwa keputusan yang diambil oleh hakim dalam pengadilan tidak
memuaskan salah seorang, reaksi akan mudah terjadi dari pihak yang merasa
dirugikan, pihak itu akan menuduh bahwa pihak pengadilan telah berbuat curang,
sehingga keadilan yang diharapkan tidak diperoleh.
Selain masalah
perdata, pengadilan negeri juga bertugas mengadili terdakwa yang dianggap
melanggar sesuatu peraturan yang semestinya harus dihormati atas dasar hukum
pidana. Dalam kasus pidana, terutama dalam kasus-kasus berat yang memungkinkan
seorang terdakwa diancam dengan hukuman mati, si terdakwa wajib didampingi oleh
pengacara. Dalam hal ini, pengadilan harus benar-benar hati-hati dan teliti
dalam menjatuhkan keputusannya. Suatu keputusan merupakan perkosaan atas
hak-hak asasi manusia. Apabila seseorang yang dijatuhi hukuman mati dan telah
terlanjur dulaksanakan ternyata terbukti tidak bersalah, hukuman tersebut tidak
mungkin dapat diralat, Akhirnya timbul rasa sesal dari berbagai pihak dan
jatuhlah kewibawaan penegak hukum.
Walaupun telah
diadakan lembaga peradilan, namun dalam praktiknya masih ada juga orang yang
merasa tidak puas dengan apa yang telah diputuskan oleh lembaga tersebut. Oleh
karena itu, adakalanya apa yang telah diputuskan dirasakan masih kurang adil
juga. Terhadap kasus yang demikian, orang hanya dapat dinasehati agar lebih
sabar karena sesungguhnya keadilan yang seratus persen sulit diperoleh di dunia
ini keadilan dalam arti sebenarnya hanya dapat diperoleh manusia di alam
akhirat.
Dalamm forum
pengadilan, ada seseorang yang menjadi pembela seseorang yang diadili. Fungsi
pertamanya adalah agar orang yang menjadi terdakwa jangan sampai mendapat
perlakuan yang tidak adil dari jaksa atau hakim, bukan semata-mata untuk
membela orang yang bersalah. Lebih-lebih bila seseorang diancam denagn hukkuman
mati, ia harus mendapat pembela, bila yang bersangkutan tidak mampu membayar
pembela, negara yang wajib menyediakannaya.
B. Macam-macam Keadilan
Ada beberapa macam keadilan, diantarnya :
1. Keadilan legal atau
keadilan moral
Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi
rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjadi kesatuannya. Dalam
masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan menurut sifat dasarnya
paling cocok baginya ( the man behind the gun ). Pendapat Plato itu disebut
keadilan moral, sedangkan oleh yang lainnya disebut keadilan legal
2. Keadilan
distributive
Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana
hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan
tidak sama (justice is done when equels are treated equally).
3. Keadilan komutatif
Keadilan ini bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan
kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan ini merupakan asas
pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung
ekstrem menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan
pertalian dalam masyarakat
C. Kejujuran
Kejujuran, menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti kelurusan hati atau ketulusan hati.
Seseorang dikatakan jujur apabila ia memiliki kelurusan atau ketulusan hati.
Hati yang tulus atau lurus adalah hati atau perasaan yang ada pada diri
seseorang dan memiliki nilai yang baik. Lawan dari seseorang yang hatinya jujur
ialah orang yang hatinya tidak bersih dan bersifat curang, sehingga tidak baik
dan biasanya bicaranya berbelit-belit.
Kejujuran
bersangkut erat dengan masalah nurani. Menurut M. Alamsyah (1986: 83) dalam
bukunya budi nurani, filsafat berfikir, yang disebut nurani adalah sebuah wadah
yang ada dalam perasaan manusia. Di dalamnya tersimpan getaran kejujuran atau
ketulusan yang selalu mengarah kepada kebenaran lokal maupun kebenaran ilahi.
Apabila dikembangkan, nurani dapat menjadi budi nurani yang merupakan wadah
yang menyimpan keyakinan. Jadi, getaran kejujuran ataupun ketulusan dapat
ditingkatkan menjadi suatu keyakinan. Atas keyakinan yang terdapat dalam diri seseorang,
kita dapat mengetahui kepribadiannya. Oleh karena itu, kita dapat menilai bahwa
orang yang memiliki ketulusan tinggi akan memiliki keyakinan yang matang,
sebaliknya seseorang yang hatinya tidak bersih dan mau berpikir curang memiliki
kepribadian yang buruk dan rendahdan sring tidak yakin kepada dirinya. Apa yang
ada dalam nuraninya banyak dipengaruhi oleh pemikirannya yang kadang-kadang
justru bertentangan.
Dengan bertolak
ukur dari hati nuraninya, seseorang dapat ditebak dengan perasaan moril dan
susilanya, yaitu perasaan yang dihayati apabila harus menentukan pilihan,
apakah hal itu baik atau buruk, benar atau salah. Hati nurani selalu bertindak
sesuai dengan norma-norma kebenaran. Manusia yang mau mengikutinya akan
memiliki kejujuran dan menjadi manusia jujur. Sebaliknya, orang yang secara
terus-menerus berpikir atau bertindak bertentangan dengan hati nuraninya, akan
selalu mengalami konflik batin. Ia akan terus mengalami ketegangan dan sifat
kepribadiannya yang senestinya tunggal jadi terpecah. Keadaan ini akan sangat
berpengaruh pada jasmani ataupun rohaninya, sehingga dapat menimbulkan penyakit
yang disebut psikoneurosa, Adapun wujud dari perasaan etis atau susila ini
antara lain dapat berupa kesadaran akan kewajiban, rasa keadilan, dan juga
ketidakadilan. Nilai-nilai etis tersebut diambil berdasarkan kaitannya antara
hubungan manusia yang satu dan manusia yang lain.
Sealin nilai etis yang terkait erat antar sesama manusia, hati
nurani terkait erat juga dalam hubungan antara manusia dan Tuhan. Dalam hal
ini, manusia yang memiliki budi nurani yang amat peka dalam hubungannya dengan
tuhan adalah manusia agama yang selalu ingat kepada-Nya sebagai sang pencipta,
selalu mematuhi apa yang diperintah-Nya, berusaha untuk tidak melanggar
larangan-Nya, selalu mensyukuri apa yang diberikan-Nya, selalu merasa dirinya
berdosa apabila tidakmenuruti apa yang digariskan-Nya, dan akan selalu gelisah
tidur apabila belum menjalankan ibadah untuk-Nya.
Dalam sebuah hadits di sebutkan yang artinya sebagai berikut :
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah bersabda: “Hendaklah
engkau berbuat jujur, sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan kepada kebajikan
dan kebajikan akan menunjukkan ke surga. Orang yang menetap kepada kejujuran
dan terus menerus berada dalam kejujuan sehingga dia dicatat oleh Allah sebagai orang
yang jujur. Janganlah engkau berbuat dusta, sesungguhnya dusta akan menunjukkan
kepada kedurhakan, dan kedurhakaan akan menunjukkan kepada neraka. Orang yang
menetap dalam dusta dan terus menerus melakukan dusta sehingga dicatat
oleh Allah sebagai pendusta. (H.R. Muttafaqun Alaih).
D. Kecurangan
Kecurangan atau curang identik dengan ketidakjujuran atau tidak
jujur, dan sama pula dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Curang atau
kecurangan artinya apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hati nuraninya atau,
orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh
keuntungan tanpa bertenaga dan berusaha. Kecurangan menyebabkan orang menjadi
serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar
dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya, dan senang bila
masyarakat disekelilingnya hidup menderita. Bermacam-macam sebab orang
melakukan kecurangan. Ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya,
ada 4 aspek yaitu aspek ekonomi, aspek kebudayaan, aspek peradaban dan aspek
teknik. Apabila keempat aspek tersebut dilaksanakan secara wajar, maka
segalanya akan berjalan sesuai dengan norma-norma moral atau norma hukum. Akan
tetapi, apabila manusia dalam hatinya telah digerogoti jiwa tamak, iri, dengki,
maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut dan jadilah
kecurangan.
Yang dimaksud dengan kecurangan (fraud) sangat luas dan ini dapat
dilihat pada butir mengenai kategori kecurangan. Namun secara umum, unsur-unsur
dari kecurangan (keseluruhan unsur harus ada, jika ada yang tidak ada maka
dianggap kecurangan tidak terjadi) adalah:
a. Harus terdapat salah pernyataan (misrepresentation)
b. dari suatu masa lampau (past) atau sekarang (present)
c. fakta bersifat material (material fact)
d. dilakukan secara sengaja atau tanpa
perhitungan (make-knowingly or recklessly)
e. dengan maksud (intent) untuk menyebabkan suatu pihak beraksi.
f. Pihak yang dirugikan harus beraksi (acted) terhadap salah
pernyataan tersebut
( misrepresentation)
g. yang merugikannya (detriment).
Kecurangan dalam tulisan ini termasuk (namun tidak terbatas pada)
manipulasi, penyalahgunaan jabatan, penggelapan pajak, pencurian aktiva, dan
tindakan buruk lainnya yang dilakukan oleh seseorang yang dapat mengakibatkan
kerugian bagi organisasi/perusahaan.
Faktor Pemicu Kecurangan
Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan
kecurangan,
yang disebut juga dengan teori GONE, yaitu:
1. Greed (keserakahan)
2. Opportunity
(kesempatan)
3. Need (kebutuhan)
4. Exposure
(pengungkapan)
Faktor Greed dan Need merupakan faktor yang berhubungan dengan
individu pelaku kecurangan (disebut juga faktor individual). Sedangkan
faktor Opportunity dan Exposure merupakan faktor yang berhubungan dengan
organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan (disebut juga faktor
generik/umum).
E. Pemulihan Nama Baik
Pemulihan nama baik berarti mengembalikan nama baik seseorang yang
semula dinilai tidak baik, sehingga pada saat penilaian tersebut ditiadakan
atau dicabut, orang tersebut akan memiliki nama baiknya kembali. Dalam
hubungannya dengan keadilan, merupakan hal yang adil dan manusiawi apabila
seseorang yang pada suatu waktu dinilai sudah baik, berhak memperoleh nama
baiknya kembali. Di sini lebih jelas lagi letak kelebihan manusia daripada
makhluk tuhan yang lain, yaitu memiliki nama yang bisa baik, sehingga
martabatnya sebagai makhluk tertinggi dapat ditentukan tinggi atau rendah.
Berhubungan dengan pengembalian nama baik ini, dalam pemerintahan
dikenal adanya rehabilitasi martabat, yaitu pemulihan martabat dalam nama baik,
disertai atau tidak disertai ganti rugi, dan pemulihan jabatan atau kedudukan
seseorang yang telah dikenakan hukuman administrasiatau pengadilan yang
menyebabkan ia kehilangan martabatnya. Rehabilitasi dalam pengertian demikian
bisa juga dilakukan pengadilan kepada seseorang yang dinyatakan pailit oleh
pengadilan. Namun setelah semua orang yang berpiutang kepadanya kemudian
menyatakan telah lunas, berarti orang yang berutang telah membayar atau melunasi
utangnya. (ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru-Van Hoeve, Edisi Khusus, 2871).
Dalam kaitannya dengan pemerintahan, hanya presiden RI-lah yang
mempunyai hak memberikan rehabilitasi (UUD 1945 bab III pasal 14). Erat
kaitannya dengan rehabilitas adalah grasi, amnesti, dan abolisi. Grasi berasal
dari kata gratia yang berarti rahmat atau karunia, sehingga grasi berarti
pengampunan hukuman, baik sebagian maupun seluruhnya. Dalam arti tertentu,
grasi adalah penghapusan sepenuhnya atau bersyarat, pengurangan atau
penggantian hukuman. Grasi inipun dalam pemerintahan diberikan oleh presiden RI
berdasarkan UUD 1945 Bab III 14 (Ibid, 1167).
Sedangkan amnesti adalah pengampunan terhadap seseorang yang
melakukan kesalahan dan telah diadili, tetapi diberikan pengampunan dibebaskan
dari keputusan menjalani hukuman, amnesti dapat juga diberikan kepada mereka
yang sedang menjalani hukuman. Misalnya, pemberian amnesti pada hari
kemerdekaan atau pada hari ulang tahun penguasa atau sebagai perjudia politik.
Dalam amnesti, kesalahan tetap kesalahan, jadi tidak sama dengan kebebasan
tuduhan (Ibid, 200)
Akhirnya yang disebut abolisi adalah penghapusan tindak pidana
serta penghentian penuntutan pidana serta penghentian penuntutan pidana.Jika
hal ini telah dijalankan, tindak pidana serta akibat-akibatnya dianggap tidak
pernah ada (Ibid, 59).
Dari keempat pengertian tersebut di atas, yaitu rehabilitasi,
grasi, amnesti, dan abolisi dapatlah ditarik kesimpulan bahwa melalui UUUD 1945
Bab III Pasal 14, presiden RI dapat memberi jalan bagi warga negaranya yang
salah untuk memulihkan nama baiknya melalui tingkatan-tingkatan tertenttu.
Bergantung pada kesalahan yang dilakukan serta kesempatan yang diberikan.
Kiranya ini juga dapat diartiakan sebagai perwujudan dari sila kedua pancasila.
Nama baik merupakan tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama
yang tidak tercela. Setiap orang menajaga dengan hati-hati agar namanya
baik. Lebih-lebih jika ia menjadi teladan bagi orang/tetangga disekitarnya
adalah suatu kebanggaan batin yang tak ternilai harganya. Penjagaan nama baik
erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau boleh dikatakan nama
baik atau tidak baik ini adalah tingkah laku atau perbuatannya.
Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan itu, antara lain
cara berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara menghadapi
orang, perbuatn-perbuatan yang dihalalkan agama dan sebagainya. Pada hakekatnya
pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya; bahwa
apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai dengan
ahlak yang baik. Untuk memulihkan nama baik manusia harus tobat atau minta
maaf. Tobat dan minta maaf tidak hanya dibibir, melainkan harus bertingkah laku
yang sopan, ramah, berbuat darma dengan memberikan kebajikan dan pertolongan
kepaa sesama hidup yang perlu ditolong dengan penuh kasih sayang , tanpa pamrih,
takwa terhadap Tuhan dan mempunyai sikap rela, tawakal, jujur, adil dan budi
luhur selalu dipupuk.
F. Pembalasan
Pembalasan adalah suatu reaksi atas perbuatan orang
lain. Reaksi itu dapat berupa perbuatan serupa, perbuatan yang seimbang,
tingkah laku yang serupa, tingkah laku yang seimbang.
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan
mengadakan pembalasan. Bagi yang bertakwa kepada Tuhan diberikan pembalasan,
dan bagi yang mengingkari perintah Tuhan pun diberikan pembalasan yang
seimbang, yaitu siksaan di neraka. Pembalasan disebabkan oleh adanya pergaulan.
Pergaulan yang bersahabat mendapatkan pembalasan yang bersahabat. Sebaliknya,
pergaulan yang penuh kecurigaan, menimbulkan pembalasan yang tidak bersahabat
pula.
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk moral dan
makhluk sosial. Dalam bergaul, manusia harus mematuhi norma-norma untuk
mewujudkan moral itu. Bila manusia bermuat amoral, lingkunganlah yang
menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakekatnya adalah perbuatan yang
melanggar hak dan kewajiban manusia lain. Oleh karena itu manusia tidak
menghendaki hak dan kewajibannya dilanggar, maka manusia berusaha
mempertahankan hak dan kewajibannya itu. Mempertahankan hak dan kewajiban itu
adalah pembalasan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan
ini maka dapat disimulkan bahwa keadilan itu adalah suatu perbuatan yang tidak
memandang jabatan, kedudukan, serta martabanya sebagai manusia, akan tetapi
berdasarkan perilaku baik dan buruknya. Atau disebut juga tidak memihak, maka
dari itu perilaku jujur menjadi dasar utama dalam perilaku adil, jangan sampai
perilaku kecurangan menjadi penghalang untuk berbuat adil, karena semua
perbuatan itu akan ada balasannya, baik itu balasan di dunia, yang bisa saja
dihindari, maupun pembalasan di akhirat yang tidak bisa dihindari, dan di
akhiratkah seseorang akan mendapatkan peradilan yang seadil-adilnya. Tak
seorangpun yang dapat menghindari peradilan dari-Nya. Jadi, mari kita berbuat
adil karena-Nya.
B. Saran
Dengan dibuatnya
makalah yang berjudul manusia dan keadilan ini diharapkan kita para mahasiswa
khususnya, bisa memahami dan melaksanakan keadilan di dalam kehidupan
sehari-hari, tidak berbuat curang, selalu mengikuti hati nurani yang sifatnya
benar. Alangkah baiknya jika bisa disampaikan juga kepada saudara kita yang
belum mengerti arti dari keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Zen Harun dan Zenal Mutaqin.2011. Bulughul Maram min Adillatul
Ahkam tarjamah.Jakarta:Bone Pustaka cet. Ke 2 h. 390
Drs. Siswono Supartono Widyo. 2009.Ilmu Budaya Dasar.Bogor
Selatan:Graha Indonesia h.114
Internet :
andrazain.wordpress.com/2013/05/31/manusia-dan-keadilan/
bunyamingunadarma.wordpress.com/2010/03/27/manusia-dan-keadilan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar