Jumat, 20 Desember 2019


Pendidkan Tanpa Syariat Akan Sekarat
Oleh : Elis Fitriani (Pendidik dan Aktivis Back to Muslim Identity Banten)

Baru-baru ini terjadi lagi kekerasan terhadap guru yang tidak lain pelakunya adalah muridnya sendiri, ini bukan hal aneh lagi saat ini, pembunuhan seolah menjadi berita rutinitas harian yang dikabarkan melalui berbagai media, belum lagi yang tidak dimuat di media, hanya bisa mengelus dada, miris dan sedih mendengar berita kriminal yang dilakukan oleh pelajar, usia emas yang seharusnya menjadi tonggak peradaban.
Kejadian tragis ini menimpa seorang pahlawan tanpa tanda jasa bernama Alexander Warupangkey (54), guru SMK Ichtus, Manado, Sulut, yang ditikam hingga tewas oleh muridnya. Sebelum ditikam, guru tersebut dikeroyok terlebih dahulu oleh para siswanya hingga nyawanya tak terselamatkan saat dalam penanganan medis.
Konon pengeroyokan itu terjadi lantaran siswa tersebut tidak terima karena ditegur saat merokok, karena merasa tersinggung dengan ucapan gurunya, sehingga nekat menghilangkan nyawa yang berjasa padanya.
Pendidikan karakter yang merupakan salah satu dari nawacita era jokowi-jusuf kala yang digaung-gaungkan memiliki 5 nilai pancasila yang tercantum dalam gerakan Penguatan Pendidkan Karakter (PPK) yakni religius, nasionalis, integritas kemandirian dan gotong royong.
Bisa kita lihat output dari gerakan yang diterapkan, ternyata tidak menghasilkan perubahan namun telah nyata kebobrokan dalam dunia pendidikan saat ini, SMK bisa! Siap kerja! Dan jargon-jargon lainnya yang bermakna generasi siap kerja dan mampu bersaing tidak ada jargon yang siap mencerak generasi beriman dan betaqwa, karena urusan keimanan bukanlah urusan negara namun diserahkan terhadap masing-masing individu menurut kepercayaan masing-masing, sekulerisme telah nampak terjadi, agama tidak boleh turut campur dalam mengurusi kehidupan negara, sehingga terpisahlah agama dari kehidupan. Kemudian melahirlah para manusia sekuler liberal baik dalam sosial, buadaya, politik maupun dunia industri.
Gerakan literasi yang termaktub dalam kurikulum yang berlaku saat ini setidaknya memliki 6 literasi dasar yang bertujuan untuk menyiapkn generasi untuk menghadapi industri 4.0 seperti yang diucapkan menteri pendidikan dan kebudayaan yang dilansir dalam jeda.id Muhadjir Effendy ”Tugas kita sekarang adalah meningkatkan peran pendidikan dasar untuk menyongsong abad XXI. Mempersiapkan generasi emas tahun 2045, menyongsong era industri 4.0,”
Generasi memang membutuhkan kemampuan dalam menghadapi era industri era 4.0 namun bukan berarti harus meninggalkan pondasi dasar dalam mendidik generasi untuk menjadi generasi emas sesungguhnya. Pada 6 literasi tersebut tidak terlintas sedikitpun untuk membentuk generasi yang beriman, semua terfokus pada kemampuan yang mampu menghasilkan keuntungan  yang besar, meningkatnya minat baca agar berpengetahuan luas, meningkatkan kemampuan numerisasi, literasi sains agar dapat bersaing saat olimpiade dan mampu untuk meraih finansial yang lebih menjanjikan, generasi diajak untuk menggali ilmu untuk memenuhi segala kebutuhan hidup namun tidak dituntun menjadi generasi yang peduli dengan akhiratnya.
Kecemerlangan Pendidikan pada masa Peradaban Islam tidak bisa dinafikan baik oleh kaum muslim maupun barat yang notabenenya nonmsulim. merekapun mengakui bahwa ilmu pengetahuan pada masa Peradaban Islam berkembang pesat bahkan barat berhutang budi pada kaum muslim. Masa ini mampu mencetak para ulama sekaligus ilmuwan yang karyanya masih dinikmati sampai saat ini, Ibnu sina misalnya yang ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, seorang dokter dan ilmuwan, Al-khawarizmi seorang ahli matematika, astronomi, astrologi dan geografi. Al-kindi seorang penulis dalam berbagai disiplin ilmu dan masih banyak lagi para ilmuwan muslim lainnya.
Mengapa saat ini tidak ada ilmuwan muslim yang ahli dalam berbagai cabang ilmu? Padahal dunia sudah mengalami modernisasi, seharusnya lebih mampu mencetak generasi unggul. Namun yang terjadi Justru semakin tepuruk dan menghasilkan generasi yang tak patut menjadi suri tauladan.
Perbedaan mendasar dalam hal ini adalah karena sistem yang diterapkan, selama sistem islam tak diterapkan maka hanya akan ada kehancuran dan kehancuran berikutnya, kesejahteraan hanya akan menjadi bayang semu yang selalu dijanjikan dari rezim satu ke rezim selanjutnya. Kemajuan hanya akan menjadi impian belaka dan angan-angan semata. Yakin masih mau bertahan dalam sistem yang rusak?

Jumat, 08 Maret 2019

Millenial ko gitu?


      Istilah Milenial tidak asing lagi bagi masyarakat, walaupun tidak mengetahui apa arti sebenarnya milenial, namun milenial menjadi kata yang sering didengar. menurut Wikipedia Milenial adalah kelompok demografis setelah generasi X, para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Milenial disebut uga “Echo Boomers” atau millenials saja.
          Millenials menjadi pusat perhatian di semua bidang dan kalangan masyarakat, aktifnya menjadi pacuan, apatisnya menjadi perhatian. jadi tidak heran jika apapun yang dilakukan kaum milenial akan menjadi booming baik itu nilai positif atau negatif bahkan hanya sekedar leluconpun akan mendunia.
       Lingkungan menjadi faktor penting bagi kahidupan, terutama bagi millenials yang masih labil dalam mengambil keputusan, sehingga tidak jarang akhirnya menyesal akibat mengambil keputusan tanpa berfikir panjang.

Peran Strategis Pemuda di Era Milenial
            Pemuda merupakan tonggak perubahan, ia adalah aset bangsa yang pengaruhnya luar biasa, maju atau tidaknya suatu negeri bergantung pada peran pemuda, maju atau mundurnya suatu bangsa ada pada pemuda, perubahan menunggu sikap positif dari para pemuda, Milenial wajib hukumnya belajar, mengkaji hal yang positif untuk menumbuhkan sikap dan spiritual yang positif, kejujuran, kedisiplinan dan sikap positif lainnya harus menjadi pondasi dasar para pemuda,  jika pemuda apatis, pragmatis dan hedonis maka jangan harap suatu bangsa akan bertemu dangan kemajuan.
            Jadilah sebaik-baik generasi yang mampu menciptakan perubahan, gali potensi agar tidak mengekor kepada orang lain, berkarya dengan kecanggihan yang tersedia agar tidak menyesal di kemudian.

Tantangan Di Era Disrupsi Teknologi
            Disrupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesai (KBBI) yaitu hal tercabut dari akarnya. Teknologi sendiri merupakan alat atau sebuah sisitem yang memudahkan manusia. Jadi disrupsi adalah alat sebuah sistem yang mengubah kehidupan manusia dari dasarnya,
Kecanggihan teknologi tidak dapat terbendung lagi, melalui peran para ahli bidang teknologi menjadikan teknologi berfungsi kompleks, menjadikan kehidupan manusia bergantung kepada teknologi, melayani dan memanjakan aktifitas manusia.
kemajuan yang terus berkembang menjadikan kaum millenial terperdaya, sehingga membuat malas untuk berkarya dan tidak berfikir inovatif, mayoritas millenial hanya sebagai konsumen yang tentu saja merugikan dan tidak ada kontribusi untuk masyarakat bahkan tidak jarang menjadi benalu masyarakat.

Milenial Cerdas Finansial
            Kecerdasan Finansial (financial quotient/FinQ) yang dikutip dari AntaraNews.com ialah merupakan ukuran kemampuan seseorang dalam memahami pentingnya perencanaan dan penerapan tata kelola keuangan yang baik. Milenial saat ini sangat minim sekali yang memiliki kecerdasan finansial ini dibuktikan dengan banyaknya para pemuda yang menjadi pekerja di usia yang sangat belia, tanpa berpikir panjang bahwa tindakan mencari rupiah dengan menelantarkan pendidikan merupakan pengebirian masa depan. Seharusnya usia millenial itu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi untuk menunjang kehidupan di masa yang akan datang dengan menghasilkan karya yang baik. Bukan justru menjadi kacung cina. Bagaimana mungkin mampu bersaing dengan pihak asing jika generasinya hanya mengandalkan tenaga yang tentu saja akan lelah dangan bertambahnya usia dengan upah yang tidak seberapa.
            Millenial seharusnya menjadi agen of change bukan justru mengikuti pendahulu yang gagal dalam mencerdaskan bangsa.
Kecerdasan merupakan anugerah yang patut disyukuri,  namun kecerdasan harus diusahakan melalui pebalajar, berlatih dan pembiasaan.

Idealisme dan Partisipasi Politik
            Berbicara politik memang terkesan berlebihan, cenderung pada kekuasaan, seolah-olah politik hanyalah milik segelintir orang saja, padahal politik merupakan salah satu alat untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat baik sejahtera pada finansial dan sejahtera pada kebutuhan lainnya. Pemahaman politik harus dimiliki oleh semua pihak masyarakat, terlebih kaum millenial yang akan melanjutkan politik masa depan. Politik dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan kepentingan umum, namun hal pribadipun termasuk dalam ranah politik, mulai dari kehidupan pribadi sampai umum diatur seluruhnya oleh negara.
            Idelisme dan politik tidak dapat dipisahkan karena idealisme menjadi dasar berjalannya politik, jika idealismenya yang dianut berasal dari pemikiran liberal maka politik yang akan dijalankanpun liberal, semua dibolehkan, semua diizinkan walau bertentangan dengan norma agama. Maka berpolitiklah dengan idealisme Islam agar aturan tidak berbenturan dengan kepentingan kelompok tertentu.

Tangkal Hoax dengan Literasi
            Media yang mudah diakses membuat peluang orang-orang yang tidak bertanggung jawab mudah membuat berita yang tidak benar istilah sekarang disebut hoax. Sebagai millenail yang cerdas tentu harus memiliki jiwa ingin tahu, dan peka terhadap kebenaran berita, bukan hanya baca sekilas tanpa berfikir panjang langsung disebar, padahal mencari tahu kebenaran informasi atau berita sangatlah penting agar informasi yang yang diterima akurat.
            Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencari kebenaran informasi salah satunya adalah dengan membudayakan aktifitas literasi, membaca adalah solusi untuk mencari kebenaran, biasakan membaca tidak hanya pada satu sumber namun perbanyak sumber agar informasi yang didapat diakui kebenarannya.